rss

Sabtu, 12 September 2009

STUDI DESKRIPTIF GAMBARAN HASIL SPIROMETRI PADA PASIEN-PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF PARU KRONIK DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ini merupakan penyakit pernafasan yang prevalensi, tingkat morbiditas dan mortalitasnya meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini PPOK menempati urutan keempat dalam hal penyebab kematian di seluruh dunia dan WHO memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menempati peringkat ketiga penyakit dalam menyebabkan kematian. Angka laju kematiannya juga meningkat dalam 20 tahun terakhir ini di Aamerika Serikat. Pada wanita tahun 1980, 20,1 : 100.000, dan pada tahun 2000, 56,7 : 100.000. sedangkan pada laki-laki, tahun 1980, sebanyak 73,0 : 100.000 dan pada tahun 2000, sebanyak 82,6 : 100.000. 1, 2, 3

National Health Institue mengatakan bahwa dahulu Penyakit Paru Obstruktif Kronik kurang populer dibandingkan sekarang. Namun, sekarang PPOK sangatlah sering terjadi. Rata-rata 12 juta orang dewasa di Amerika Serikat didiagnosa PPOK, dan 120.000 diantaranya meninggal tiap tahunnya. Di lain pihak juga masih terdapat 12 juta orang lagi di Amerika Serikat yang belum terdiagnosa. Disamping itu, sekarang tingkat kematian PPOK meningkat.1

Di Indonesia, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK ini memiliki kecenderungan untuk meningkat.4

Disamping itu untuk menegakkan diagnosa PPOK, dibutuhkan spirometri untuk mengukur fungsi faal paru-paru. Sehingga diagnosis PPOK dapat ditegakkan secara pasti. Namun, ukuran standar pada spirometri berubah-ubah dan berbeda-beda pada tiap institut atau guideline.5

Pada PPOK, terjadi hambatan aliran udara pada saat ekspirasi sehingga mempengaruhi hasil spirometri seperti FEV1 (Forced Expiratory Volume in one second), FVC (Forced Vital Capacity), dan total volume paru-paru. Namun, perubahan hasil spirometri pada PPOK ini berbeda-beda sesuai umur, jenis kelamin, suku, riwayat merokok, pekerjaan , riwayat penyakit pernafasaan lainnya, dan adanya riwayat penyakit jantung.2

Untuk itulah dilakukan penelitian tentang gambaran pasien-pasien PPOK berdasarkan hasil spirometri di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Karena penulis merasa bahwa PPOK ini sangat penting dan ingin memperoleh gambaran penyakit pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami mengambil rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : Bagaimana gambaran hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, pasien dengan riwayat merokok, pekerjaan , riwayat penyakit pernafasaan lainnya, dan adanya riwayat penyakit jantung.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hasil spirometri secara umum pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Tujuan Khusus

2.1. Mengetahui gambaran umur dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.2. Mengetahui gambaran jenis kelamin dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.3. Mengetahui gambaran suku dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.4. Mengetahui gambaran riwayat merokok dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.5. Mengetahui gambaran pekerjaan dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.6. Mengetahui gambaran riwayat penyakit pernafasan penyerta dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2.7. Mengetahui gambaran riwayat penyakit jantung dengan hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Hasil dari penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi bagi Fakultas Kedokteran Unhas.

2. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi berkaitan dengan data-data yang kami kumpulkan.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.

4. Penelitian ini merupakan aplikasi dari tridarma perguruan tinggi dan merupakan pengalaman berharga dan wadah latihan pengembangan diri dan ilmu yang telah diperoleh dan dapat diaplikasikan langsung pada masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TENTANG PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit saluran pernafasan akibat terhambatnya aliran udara yang bersifat progresive yang disebabkan oleh inflamasi pada saluran pernafasan dan parenkim paru. Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan terbatasnya atau terdapat hambatan aliran udara yang bisa reversibel sebagian maupun irreversibel. Aliran udara yang terhambat ini berlangsung secara progresif dan berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada paru-paru terhadap response dari partikel debu atau gas, biasanya disebabkan oleh asap rokok. Penyakit ini juga dapat bersifat sistemik namun biasanya hanya mengenai paru.2, 6

Pada pasien PPOK terdapat dua keadaan yang dapat terjadi yaitu bronkitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik merupakan batuk produktif selama tiga bulan dalam dua tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema merupakan keadaan patologis yang ditandai pelebaran saluran pernafasan bagian distal sampai ke bronkiolus terminal, disertai destruksi dinding tanpa disertai fibrosis yang nyata.2

Asma berbeda dengan PPOK, namun keduanya mempunyai prevalensi yang tinggi pada masyarakat. Keduanya terdapat hambatan aliran udara secara signifikan dan mempunyai respon yang kuat terhadap bronkodilator. Namun, asma memiliki kadar IgE yang tinggi dalam darah.2, 7

Keadaan-keadaan lain seperti bronkiektasis dan TBC tidak termasuk dalam PPOK, namun sebaiknya di masukkan ke dalam diagnosis banding.2

Untuk menegakkan diagnosis pada PPOK sebaiknya di lihat gejala dari batuknya, produksi dari sputumnya, sesak nafas, atau adakah riwayat terpapar dengan faktor resiko.6

Diagnosis dari PPOK itu sendiri ditentukan oleh anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan spirometri.Spirometri sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang dicurigai PPOK. Pada PPOK nilai FEV1 semakin hari semakin berkurang nilainya yang dimulai pada umur diatas 30 tahun, sebanyak 30-60 ml per tahun. Biasanya gejala muncul pada nilai FEV1 di bawah 50 % dari nilai normal, namun tidak selamanya seperti itu karena banyak hal yang mempengaruhi.6

b. Epidemiologi

Sebuah lembaga survey nasional di USA yaitu National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), mengatakan bahwa di USA pada umur 25-75 tahun, prevalensi PPOK yang derajat ringan (FEV1/FVC <70% class="small">1/FVC <70% class="small">1 ≤80% predicted) was 6.6%. Tingkta mortalitas dan morbiditasnya juga meningkat dari tahun ke tahun.2

Menurut studi NHANES III, PPOK diestimasikan mengenai 14,2 % laki-laki kulit putih yang merokok, 6,9 % bekas perokok, dan 3,3 % yang tidak pernah merokok. Pada wanita kulit putih, 13,6 % perokok, 6,8 % bekas perokok, dan 3,1 % tidak pernah merokok.2

Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK adalah:

- Faktor host : faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas

- Faktor exposure : merokok, status sosioekonomi, hipereaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi lingkungan, kejadian saat perinatal, infeksi bronkopulmoner rekuren, dll. 2, 8

c. Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi

Faktor resiko utama terjadinya PPOK adalah akibat paparan asap rokok. Karena terjadi paparan yang terus-menerus, maka akan mengakibatkan terjadinya inflamasi, ketidak seimbangan proteinase dan antiproteinase serta meningkatnya stres oksidatif.2,6,7

Inflamasi yang terjadi akan meningkatkan neutrofil, makrofag, T-limfosit khususnya CD8+, juga akan meningkatkan sitokin dan mediator inflamasi seperti leukotriene 4, interleukin-8 and tumour necrosis factor-α.2

Hal ini menyebabkan peningkatan produksi proteinase dan penurunan aktivitas dari antiproteinase. Karena terjadi proses inflamasi, maka sel-sel neutrofil akan keluar dan menghasilkan zat proteinase seperti elastase, cathepsin G dan proteinase-3, dan makrofag yang menghasilkan cathepsins B, L, dan S, dan matrix metalloproteinase. Sedangkan pada PPOK terjadi penurunan aktivitas antiproteinase seperti α1-antitrypsin, penghambat sekresi leukoproteinase and penghambat matrix metaloproteinase. Neutrofil elastase tidak hanya berperan dalam rusaknya parenkim paru tetapi juga juga sangat poten dalam menginduksi produksi mukus dan hiperplasia kelenjar mukus.2

PPOK juga disebabkan oleh adanya stres oksidatif. Pada udara yang dikeluarkan serta urin penderita PPOK yang merokok, ternyata mengandung hydrogen peroxide, nitric oxide dan lipid peroxidation products (isoprostane F2α-III). Zat-zat oksidatif ini bisa mengoksidasi molekul-molekul biologi yang bisa menyebabkan kematian sel.2

Karena terjadi proses inflamasi, ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase, serta munculnya stres oksidative, maka hal-hal tersebut dapat menyebabkan perubahan patologis dari saluran nafas baik saluran nafas atas maupun saluran nafas bawah.2

Pada saluran nafas bagian atas (saluran nafas yang mengandung jaringan kartilago dan diameternya > 2 mm), terjadi hipertrofi kelenjar-kelenjar pada bronkus dan terjadi metaplasia dari sel goblet. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi mukus atau bronkitis kronik..Terjadi infiltrasi sel-sel radang pada kelenjar-kelenjar di bronkus. Pada epitel-epitel dinding saluran nafas atas, terjadi metaplasia sel-sel skuamosa, silianya juga berkurang dan mengalami disfungsi. 2

Pada saluran nafas bagian bawah (saluran nafas yang mengandung tidak jaringan kartilago dan diameternya <>2

Pada parenkim paru, bronkus terminal dan alveolus, terjadi emfisema, yaitu pembesaran dari ruangan alveolar, dan rusaknya dinding dari alveolar.2, 7

Perubahan patologis yang terjadi akan mengakibatkan fungsi fisiologis menjadi terganggu. Akibatnya terjadi hipersekresi mukus, disefungsi dari sel-sel silia saluran nafas, terhambatnya aliran udara dan hiperinflasi, pertukaran gas terganggu, hipertensi pulmonal, dan efek sistemik.2, 7

Pada PPOK, hambatan aliran udara yang terjadi adalah terhambatnya aliran ekspirasi. Hambatan aliran udara ini bisa di deteksi dengan spirometri.2, 6

d. Gejala Klinik

Batuk terjadi secara intermitten pada pagi hari, dan terjadi secara progresive sepanjang hari, dan jarang pada malam hari. Sputum biasanya keluar pada pagi hari. Sputumnya biasanya bersifat mukoid dan jumlahnya sedikit. Warnanya juga harus diperhatikan. Sesak juga bisa dirasakan ketika melakukan aktifitas seperti menaiki tangga, namun juga bisa muncul pada saat istirahat.2

Gambaran klinis sistemik PPOK dapat berupa penurunan berat badan, disfungsi otot-otot skelet dan kelainan sistemik yang bersifat potensial. Penurunan berat badan akibat adanya ketidaksesuaian intake kalori, oleh karena pada pasien PPOK terjadi peningkatan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal ini akibat adanya inflamasi sistemik, hipoksia jaringan dan pemakaian obat-obatan pada pasien PPOK (misalnya beta-2 agonis). 2

Adanya disfungsi otot skelet dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Disfungsi ini terjadi akibat perubahan gaya hidup pasien PPOK (aktivitas fisik yang menurun karena pasien mudah sesak), kelainan nutrisi, hipoksia jaringan, apoptosis otot skelet, stres oksidatif, rokok, kepekaan individu, perubahan hormon, perubahan elektrolit, kelainan regulasi nitrit oksida, dan obat-obatan. 2

Riwayat penyakit terdahulu juga harus ditanyakan seperti riwayat asma dan alergi. Riwayat keluarga yang menderita PPOK atau penyakit paru yang lain serta riwayat dirawat di rumah sakit juga penting untuk ditanyakan. Hal yang paling penting juga untuk di tanyakan adalah riwayat merokok atau terpapar asap rokok.2

Pada pemeriksaan fisis, dapat di temui barrel chest dan sela-sela iga melebar pada inspeksi. Pada palpasi dan perkusi bisa didapatkan hipersonor dan hepar mudah diraba. Pada auskultasi juga bisa didapatkan ronchi dan wheezing.2

e. Diagnosis

Diagnosis PPOK sebaiknya dipertimbangkan dari gejala klinik yang muncul, seperti gejala batuknya, produksi sputum, sesak serta pajanan faktor resiko.6

Diagnosis PPOK membutuhkan spitrometri. Angka spirometri FEV1/FVC <0.7 style="">reversibel dan kemungkinan irreversibel.9

Table 1. Klasifikasi umum dari spirometri

Derajat Keparahan

Setelah di beri Bronchodilator

FEV1/FVC

FEV1 % prediksi

Resiko tinggi

Pasien yang:

  • Merokok atau terpajan oleh polutan-polutan
  • batuk, sputum atau sesak
  • punya riwayat keluarga yang terkena penyakit paru-paru

>0.7

≥80

PPOK ringan

≤0.7

≥80

PPOK sedang

≤0.7

50-80

PPOK berat

≤0.7

30-50

PPOK yang sangat berat

≤0.7

<30

FEV1: forced expiratory volume in one second; FVC: forced vital capacity.2,8,9

f. Diagnosis Banding

PPOK didiagnosis banding dengan asma, TBC, bronkiektasis, dan gagal jantung kongestif. Untuk meningkirkannya di perlukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thorax sinar X dan spirometri, serta pemeriksaan penunjang yang lain.2

g. Pengobatan

Prinsip Pengobatan pada pasien PPOK adalah menghilangkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup, memperbaiki kualitas paru-paru dan mencegah eksaserbasi ulang. Pasien dianjurkan untuk menghidari merokok, juga dilakukan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Pasien harus diperhatikan nutrisi atau status gizinya. 2

Pemberian bronkodilator (beta-2 agonis atau anti-kolinergik) merupakan terapi utama pada kasus PPOK. Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) telah merekomendasikan pemberian bronkodilator sebagai obat utama dalam penatalaksanaan PPOK, disamping obat golongan lain seperti inhalasi glukokortikoid, antioksidan dan lainnya. 2, 7

Bronkodilatator dapat diberikan secara insidentil, ataupun diberikan secara reguler dan lebih disukai ialah dalam bentuk inhalasi.

Pemakaian antioksidan yang direkomendasikan oleh Internasional dan nasional guideline adalah N-acetylcysteine (NAC). NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai antioksidan dan anti-inflamasi, serta imunomodulator. NAC sebagai agen mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah jembatan disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat dalam sekresi bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta bekerja dengan cara memperbaiki kerja silia saluran napas. 2

Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari NAC. 2

NAC sebagai antioksidan akan menjadi prekursor glutation (antioksidan) karena NAC mudah untuk berpenetrasi kedalam sel dan diasetilasi menjadi sistein. Sistein ini berperan terhadap sintesis glutation. Selain berperan secara tidak langsung sebagai antioksidan, peranan NAC secara langsung sebagai antioksidan adalah membawa gugus tiol (gugus SH) bebas yang dapat berinteraksi dengan gugus elektrofilik ROS. 2, 7

Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing. 2

Uji klinis NAC pada PPOK yang melibatkan 1392 pasien membuktikan bahwa pemberian NAC dapat mengurangi viskositas ekspektorasi, memudahkan ekspektorasi, dan mengurangi derajat keparahan batuk. 2

Terapi lain yang saat ini sedang diteliti peranannya dalam PPOK adalah anti-TNF alpha (telah ditunjukan efektif pada penyakit inflamasi kronis seperti artritis reumatoid).2

B. TINJAUAN TENTANG SPIROMETRI

Metode sederhana untuk mempelajari veentilasi paru adalah dengan mencatat volume udara yang masuk dan keluar paru-paru, suatu proses yang disebut spirometri.10, 11

Gambar 1. Diagram yang memperlihatkan peristiwa pernafasan selama bernafas normal, inspirasi maksimal, dan ekspirasi maksimal.11

1. Volume Paru

a. Volume alun nafas (tidal) / Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang diinspirasi atau dikespirasi setiap kali orang bernafas normal, besarnya kira-kira 500 ml pada rata-rata orang dewasa muda.

b. Volume cadangan inspirasi / Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat diinspirasi setelah dan di atas diatas volume alun nafas normal, dan biasanya mencapai 3000 ml.

c. Volume cadangan ekspirasi / Ekspiratory Reserve Volume (ERV) adalah jumlah udara ekstra yang dapat diekspirasi oleh ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi alun nafas normal, jumlah normalnya adalah sekitar 1100 ml.11

d. Volume residu / Residual Volume (RV) yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah ekspirasi paling kuat. Volume ini besarnya kira-kira 1200 ml. Namun, volume residu tidak dapat diukur secara langsung oeleh spirometer.

e. Forced Ekspiratory Volume (FEV1)

FEV1 adalah volume ekspirasi yang kuat dalam 1 detik.10

2. Kapasitas Paru

Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang-kadang perlu menyatukan dua atau lebih volume diatas. Kombinasi seperti itu disebut kapasitas paru.

a. Kapasitas inspirasi / Inspiratory Capasity (IC) sama dengan volume alun nafas ditambah volume cadangan inspirasi. Ini adalah jumlah udaranya kira-kira 3500 ml, yang dapat dihirup seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum.

b. Kapasitas residu fungsional / Fungsional Residual Capacity (FRC) sama dengan volume cadangan ekspirasi ditambah volume residu. Ini adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal kira-kira 2300 ml.

c. Kapasitas vital / Vital Capacity (VC) sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume alun nafas dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan mengeluarkan sebanyak-banyaknya kira-kira 4600 ml.

d. Kapasitas paru total / Total Lung Volume (TLV) adalah volume maksimum di mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa kira-kira 5800 ml. Jumlah ini sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu. Kapasitas paru total juga tidak dapat secara langsung diukur oleh spirometer.10, 11

e. Forced Vital Capacity (FVC)

Volume ekspirasi yang kuat dan secepat mungkin setelah inspirasi maksimal. 10

Nilai spirometri yang biasa diukur pada pasien PPOK adalah rasio FEV1/FVC. Biasanya pada pasien PPOK nilainya adalah ≤0.7.9

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes spirometri pada orang normal diantaranya umur, jenis kelamin, ras, riwayat merokok, pekerjaan, penyakit intrapulmonal, penyakit jantung, dan bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Rahmawati dan Asriyani Azikin ternyata IMT juga mempengaruhi hasil spirometri. 10

1. Umur

Hubungan umur dengan spirometri bervariasi, Knudson menggambarkan 3 fase pada fungsi spirometri :

a. Fase pertumbuhan pada anak <>

b. Fase matur. Dimulai sejak pertumbuhan spure sampai umur 20 tahun pada wanita dan 25 tahun pada laki-laki. Fungsi spirometri berkorelasi secara positif sesuai umur dan tinggi badan.

c. Fase penurunan. Fungsi spirometri menurun bberdasarkan umur > 20 tahun pada wanita dan > 25 tahun pada laki-laki. FVC meningkat pada umur 24 tahun, stabil pada umur 35 tahun menurun setelah umur 35 tahun.10, 11

2. Ras atau Suku

Koevesien volume paru dan aliran udara pada ras kulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Ras Indiana, Pakistan, Oriental berada diantara kedua ras tersebut. Beberapa penelitian menentukan nilai FEV1/FVC pada ras kulit hitam lebih tinggi dengan ras kulit putih.10

3. Jenis Kelamin

Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil daripada pria. Peningkatan morbiditas juga lebih sering pada laki-laki yang terkena PPOK dibandingkan dengan perempuan.11

4. Pekerjaan

Pada pekerjaan yang membutuhkan aktivitas lebih banyak maka cenderung kekuatan pernafasannya menjadi meningkat, sehingga kapasitas vital paru pada orang itu meningkat Sebaliknya orang yang memiliki pekerjaan atau exercise yang sedikit maka cenderung kekuatan pernafasannya menjadi menurun, sehingga kapasitas parunya pun kecil.11

5. Merokok

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pada orang yang merokok, FEV1/FVC nya cenderung menurun. Karena rokok bisa merusak paru-paru maka fungsi paru-paru pun menjadi terganggu.8

6. Penyakit pernafasan.

Seluruh penyakit pernafasan otomatis akan mempengaruhi atau menurunkan fungsi paru. Sehingga nilai spirometrinya pun juga akan menurun. Aliran udara akan terhambat dan kemampuan paru-paru untuk mengembangkempis pun akan menurun sehingga fungsi faal paru juga akan menurun.10

7. Penyakit Jantung

Jantung sangat erat hubungannya dengan paru-paru, karena kedua organ ini tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling mendukung fungsi masing-masing. Jantung menyuplai darah ke paru-paru untuk di tukarkan oksigen di paru-paru, sehingga suplai oksigen jantung jug bisa tercukupi. Sehingga kalau ada gangguan di jantung, maka juga akan terjadi gangguan fungsi paru-paru, seperti terjadi bendungan paru. Maka hal ini, akan mempengaruhi fungsi faal paru. 2, 10

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. DASAR PEMIKIRAN VARIABEL PENELITIAN

Spirometri merupakan analisis perubahan volume paru. Hasil tes spirometri dapat digunakan untuk mendiagnosis PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), selain itu digunakan untuk keperluan penelitian. Beberapa faktor mempengaruhi hasil tes spirometri pada PPOK yaitu umur, jenis kelamin, suku, kebiasaan merokok, pekerjaan, riwayat penyakit saluran pernafasan yang menyertai, dan riwayat penyakit jantung. Namun, hubungan secara kuantitas dari hasil spirometri belum dapat dijelaskan. Oleh karena itu, akan digambarkan bagaimana hubungan antara umur, jenis kelamin, suku, kebiasaan merokok, pekerjaan, riwayat penyakit saluran pernafasan yang menyertai, dan riwayat penyakit jantung dengan hasil uji spirometri.

B. SKEMA POLA PIKIR VARIABEL PENELITIAN

UMUR

JENIS KELAMIN

SUKU

KEBIASAAN MEROKOK

PEKERJAAN

RIWAYAT PENYAKIT PERNAFASAN LAINNYA

RIWAYAT PENYAKIT JANTUNG

PASIEN PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK)

HASIL UJI SPIROMETRI

- TV

- FEV1/FVC rasio

- ERV

- VC


C. KLASIFIKASI VARIABEL, DEFENISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini hasil uji spirometri seperti TV (Tidal Volume), FEV1/FVC rasio, ERV (Ekspiratory Reserve Volume) dan VC (Vital Capacity) .

b. Variabel Independen

Variabel Independen pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, suku, kebiasaan merokok, pekerjaan, riwayat pernafasan lainnya dan riwayat penyakit jantung.

2. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

2.1. Hasil uji spirometri yaitu hasil yang tertulis pada grafik setelah melakukan uji spirometri, dengan skala 1 kotak = 250 cc udara, meliputi :

2.1.1. Tidal Volume (TV), yaitu volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali orang bernafas normal, besarnya kira-kira 500 ml pada rata-rata orang dewasa muda.

Kriteria objektif :

a. <350>

b. 350-500 cc

c. > 500 cc

2.1.2. Rasio FEV1/FVC

Kriteria objektif :

a. <>

b.0,5-0,7

c. 0,7-0,9

d. > 0,9

2.1.3. ERV (Ekspiratory Reserve Volume) adalah jumlah udara ekstra yang dapat diekspirasi oleh ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi alun nafas normal, jumlah normalnya adalah sekitar 1100 ml.

Kriteria objektif :

a. <900>

b. 900-1100 ml

c. > 1100 ml

2.1.4. Vital Capacity (VC) yaitu sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume alun nafas dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan mengeluarkan sebanyak-banyaknya kira-kira 4600 ml.

Kriteria objektif :

a. <4000>

b. 4000-4600 ml

c. >4600 ml

2.2. Karakter pasien PPOK mulai dari umur, jenis kelamin, suku, kebiasaan merokok, pekerjaan, riwayat pernafasan lainnya dan riwayat penyakit jantung.

2.2.1. Umur yang di maksud disini adalah usia orang tersebut pertama kali didiagnosa PPOK.

Kriteria objektif :

a. 0-9 tahun.

b. 10-19 tahun.

c. 20-29 tahun.

d. 30-39 tahun.

e. 40-49 tahun.

f. 50-59 tahun.

g. 60-69 tahun.

h. > 70 tahun.

2.2.2. Jenis Kelamin.

Kriteria objektif :

a. Laki-laki.

b. Perempuan.

2.2.3. Suku

Kriteria objektif :

a. Bugis

b. Makassar.

c. Jawa.

d. Toraja.

e. Mandar.

f. Tionghoa.

g. dll.

2.2.4. Kebiasaan merokok

Kriteria objektif :

a. Merokok (Orang yang merokok dalam 1 bulan terakhir dalam jumlah berapa

pun).

b. Tidak Merokok.

2.2.5. Pekerjaan

Kriteria objektif :

a. Petani.

b. Tukang becak.

c. Guru

d. TNI.

e. Polisi Lalu Lintas

f. Wiraswasta.

g. Dokter

h. Belum bekerja

2.2.6. Riwayat penyakit pernafasan lainnya

Kriteria objektif :

a. Asma.

b. TBC.

c. Kanker paru-paru.

d. Bronkiektasis.

2.2.7. Riwayat penyakit jantung

Kriteria objektif

a. Gagal Jantung Kongestif.

b. Sindrom koroner akut.

c. Korpulmonale.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi observasional dengan pendekatan survey deskriptif, untuk mengetahui gambaran hasil spirometri pada pasien-pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Waktu penelitian mulai tanggal 31 Agustus sampai 12 September 2009.

C. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi :

Semua pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari - 30 Juni 2009.

Sampel :

Sampel yang diambil adalah total sampling, yaitu semua pasien-pasien PPOK di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari - 30 Juni 2009.

D. JENIS DAN CARA PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa pengumpulan data dari rekam medik RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institue of Health, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, USA. 2007.

2. Celli B.R., dkk, Standards for the Diagnosis and Treatment of Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease, American Thoracic Society dan European Respiratory Society. New York. 2004.

3. Global Alliance against Chronic Respiratory Disease, Global Surveillance, Prevention and Control of Chronic Respiratory Diseases: A Comprehensive Approach, WHO, 2009.

4. Soetodjo, F.A., Penyakit Paru Obstruktif Kronik, 2007.

5. Nathel, L, dkk,. COPD Diagnosis Related to Different Guidelines and Spirometry Techniques. BioMed Central. 2007.

6. Sutherland, E.R., dan Cherniack, R, M., Measuremen pada Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. New Englad Journal of Medicine, Massachusetts Medical Society. 2004.

7. Price , S.A, dan Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep-Konsep Proses-Proses Penyaki, Edisi ke-4, ECG, 1995.

8. Qozih, H.A., dkk., Spirometric Screening of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Smokers Presenting to Tertiary Care Centre. Pakistan. Journal of Medicine 2009;10:40-44.

9. Pawels R, Sonia Buist A, Calverley P, Jenkins C, Hurd S. Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Workshop summary. Am J Respi Crit Care Med 2001; 163: 1256–1276.

10. Rahmawati dan Asriyani Azikin, Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Hasil Uji Spirometri Pada Mahasiswa Kedokteran Unhas Angkatan 2002. 2004

11. Guyton & Hall, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi ke-7. Jakarta : EGC.

Hal. 604-605. I997.

0 komentar:


Posting Komentar